Memahami Ki Ageng Suryomentaram dari Desa Bringin


Percayalah, Anda tak akan menemukan letak Desa Bringin di peta Tanah Jawa. Lantaran hari telah sore, mana hujan lagi, saya pun cuma ingat bahwa jalan yang saya tempuh dari Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, apabila dari arah Salatiga, begitu pas di jalan menurun, saya langsung belok kanan.
Setelah melewati jalan yang berkelok-kelok, menanjak dan menurun, lalu belok kiri dengan turunan yang curam, barulah saya sampai di Desa Bringin.
Ah ya, kenapa saya harus repot-repot bersama Mas Hermanu, doktor lulusan Amerika yang sekarang jadi tenaga pengajar di Institut Pertanian Bogor, blusukan pergi ke Bringin? Jawabnya cuma satu, sebab di sanalah dulu Ki Ageng Suryomentaram bermukim.
Buat Anda yang belum mengetahui siapa sejatinya Ki Ageng, bolehlah saya nukilkan dari www.geocities.com/kramadangsa mengenai filsuf Jawa ini.
Ki Ageng Suryomentaram dilahirkan di Kraton Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1892 sebagai salah seorang putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Beliau meninggalkan kehidupan sebagai pangeran dalam kraton dan memilih hidup sebagai petani di desa Bringin, Salatiga, sampai wafat pada tanggal 18 Maret 1962.
Sepanjang masa hidupnya beliau mencurahkan segala daya, tenaga dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan diri pribadi manusia yang membawa kebahagiaan atau kesusahan dalam hidup manusia.
Wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram biasanya diawali sebagai bahan yang dibicarakan atau diceramahkan di pelbagai tempat yang beliau datangi, kemudian barulah disusun dalam naskah tertulis yang hampir seluruhnya dalam bahasa Jawa. Cukup banyak yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Secara berkala dan bergantian di berbagai kota, para peminat wejangan Ki Ageng ini mengadakan pertemuan besar yang disebut "Junggring Salaka Agung". Dalam pertemuan tersebut Ki Ageng juga menyampaikan ceramah-ceramahnya.
Karya dan wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram ini juga telah digunakan sebagai bahan skripsi/tesis/disertasi, antara lain oleh: Dr. J. Darminta S.J. (disertasi di Universitas Gregoriana, Roma, 1980); Drs. Darmanto Jatman (tesis Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 1985); Drs. Josephus Sudiantara (skripsi Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1983); Drs. A. Widyahadi Seputra (skripsi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, 1986); Drs. Nur Satwika (skripsi Fakultas Sastra UNS, Surakarta, 1989).
Marcell Bonneff, peneliti dari Universitas Paris, telah memelajari wejangan Ki Ageng ini secara lengkap dan kemudian menulis buku tentang hal ini dalam bahasa Prancis, berjudul "Ki Ageng Suryomentaram, Prince Et Philosophe Javanais".
Cukup lama wejangan-wejangan Ki Ageng ini, baik dalam bahasa aslinya maupun yang sudah diterjemahkan, tidak lagi beredar di masyarakat sehingga sukar didapatkan. Baru pada pertengahan tahun 2002, buku yang berisi wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram mulai diterbitkan kembali.
Sampai di mana tadi? O ya..., pas sampai di Desa Bringin, hujan pun menjemput kami. Apa boleh buat, maksud hati langsung menuju ke bekas kediaman Ki Ageng di bawah lembah, tapi jalan berbatu yang licin itu pun tak mampu kami lewati, bahkan dengan motor sekalipun.
Dalam gerimis yang temaram, kami pun bertanya-tanya kepada warga desa, siapakah yang tahu perihal Ki Ageng. Akhirnya, kami pun diantar oleh seorang warga menuju kediaman lelaki tua yang kini tinggal berdua bersama sang istri.
Ketemu Mbah Sardi
Namanya Mbah Sardi, usianya sudah 85 tahun. Ia hidup bersama istrinya yang juga sudah sepuh di sebuah rumah tua yang berlantaikan tanah. Seorang warga menunjukan kepada kami, Mbah Sardi inilah salah satu saksi hidup Ki Ageng yang masih sisa di Desa Bringin. Maka kepadanyalah kami diantar untuk tahu lebih banyak tentang Ki Ageng semasa tinggal di Desa Bringin.
Meski kami sudah memerkenalkan diri sebagai orang-orang yang ingin tahu tentang Ki Ageng, tak urung Mbah Sardi masih terus menyelidik lewat tatapan matanya. Maklumlah, kami datang tak diundang dan dalam suasana malam yang hujan pula.
Tapi seperti galibnya warga desa, Mbah Sardi pun akhirnya menerima kedatangan kami dengan sikap yang ramah. Bahkan tak jarang Mbah Sardi melontarkan kalimat-kalimat lucu saat ditanya seputar Ki Ageng. Misalnya, saat saya tanya, apakah Ki Ageng mengenal Mbah Sardi secara pribadi.
"Ah nggih mboten, wong mriko ndoro...(Ah, ya tidak, wong beliau itu ningrat)."
Meski tak mengenal secara pribadi, tapi Mbah Sardi masih ingat kebiasaan Ki Ageng yang suka memakai kaus oblong dengan sabuk yang lebar. Lalu kata Mbah Sardi lagi, dahulu Ki Ageng memelihara banyak kerbau dan sapi di atas tanah miliknya yang luasnya 13 hektar. "Niku kuline nggih katah (Ki Ageng punya banyak buruh)," kata Mbah Sardi seraya menambahkan bahwa tanah Ki Ageng sebagian diwariskan untuk para buruhnya itu.
Mbah Sardi juga masih ingat, Ki Ageng kerap nungguin para buruhnya yang sedang mencangkul. "Ki Ageng duduk di kursi mengenakan baju model Jogja sambil melihat orang-orang mencangkul," tutur Mbah Sardi.
"Apa Mbah Sardi pernah diajak ngobrol sama Ki Ageng?" tanya saya."Ah nggih mboten, wong beliau ndoro masa tanya sama rakyat jelata seperti saya," jawab Mbah Sardi."Dulu orang-orang Bringin kalau memanggil beliau sebutannya apa, Mbah?""Kami memanggilnya Ndoro Kanjeng Suryomentaram.""Ndoro Kanjeng pergi dari Bringin pas apa?""Pas geger Ambarawa. Belanda menyerang Ambarawa, para tentara mengungsi ke sini (kediaman Kia Ageng). Tapi pas sampai di sini, Ndoro sudah pergi. Semenjak itu saya jarang lagi melihat beliau.""Ki Ageng itu orangnya seperti apa sih Mbah?""Orangnya bagus, kulitnya kuning, tinggi, suka main ketoprak, bisanya dia jadi ratu...ndoro, suryo mentaram... jadi gedibal ya nggak pantes, he he he.""Mbah Sardi tahu nggak kalau kanjeng orang pintar?""Ya ngerti, wong ngetoprak juga pinter. Dia suka ngajar ilmu begjo. Nek dijiwit loro ojo njiwit (kalau dicubit sakit jangan mencubit), ilmu timbang rasa gitu.""Masih banyak orang datang ke sini untuk tirakatan, Mbah?""Ya masih. Dari Solo, Klaten, tiap selasa kliwon, sampai 600 orang, dari Jakarta juga ada."
Usai bertemu dengan Mbah Sardi, keesokan harinya saya berdiskusi dengan Mas Hermanu, kenapakah Ki Ageng memilih Bringin sebagai tempatnya bermukim selepas "lari" dari keraton?
Secara geografis, kata Mas Hermanu, Bringin memang tempat yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal. Selain tanahnya subur, hawanya sejuk, juga terdapat sungai untuk dikonsumsi oleh keluarga maupun untuk menyirami tanaman milik Ki Ageng. Secara sosiologis, masyarakat Bringin yang agraris dan berpegang pada nilai-nilai tradisi adalah laboratorium yang tepat untuk dijadikan bahan kajian bagi Ki Ageng.
Ya, kesimpulan Mas Hermanu ini boleh jadi benar. Sebab, dari Bringin itulah Ki Ageng berhasil menulis karya-karyanya berupa wejangan yang adiluhung. Berikut saya kutipkan salah satu wejangan Ki Ageng mengenai "mulur, mungkret".
Mulur
Yang menyebabkan senang ialah tercapainya keinginan. Keinginan tercapai menimbulkan rasa senang, enak, lega, puas, tenang, gembira. Padahal keinginan ini bila tercapai pasti mulur, memanjang, dalam arti meningkat. Ini berarti bahwa hal yang diinginkan itu meningkat entah jumlahnya entah mutunya sehingga tidak dapat tercapai dan hal ini akan menimbulkan susah. Jadi senang itu tidak dapat berlangsung terus-menerus.
Misalnya menjelang hari raya orang ingin membeli sarung baru. Kata hatinya: "Bila aku dapat membeli sarung baru, pasti aku akan bahagia, yakni tetap senang. Pada hari besar nanti, aku dapat melancong ke mana-mana." Andaikata sarung baru itu dapat dibelinya ia pun tidak akan bahagia, melainkan bergembira sebentar kemudian susah lagi. Oleh karena keinginannya itu mulur, maka ia merasa: "Memang, meskipun sarungnya sudah baru, ikat kepalanya pun harus baru." Maka ia ingin membeli ikat kepala, tetapi uangnya tidak cukup, maka gagallah keinginannya dan susahlah ia. Demikianlah senang tidak berlangsung terus menerus. Andaikata pun kelak ia dapat membeli sarung dan ikat kepala baru, pasti keinginannya mulur lagi. Hatinya akan berkata: "Sekarang sarung dan ikat kepalanya sudah baru, dan bagaimanakah bajunya? Tidakkah harus baru pula?"
Kemudian bila pakaiannya baru sudah ada, tentu keinginannya mulur lagi. Sandalnya, arlojinya, kendaraannya, rumahnya harus baru pula. Bila semua itu sudah ada, pasti keinginannya akan mulur lagi: "Sekarang semua barang sudah baru, mengapa isterinya masih yang lama saja. Agar tidak dikatakan aneh maka ia mencari isteri baru." Bila nanti memperoleh isteri baru, pasti mulur lagi: "Anaknya pun harus ada yang baru karena mengapa yang ada hanya anak dari isteri lama saja?" Demikianlah keinginan itu mulur sehingga apabila apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya maka susahlah ia. Jelaslah bahwa senang itu tidak tetap adanya.
Keinginan itu terwujud dalam usaha mencari semat, derajat dan kramat. Mencari semat ialah mencari kekayaan, keenakan, kesenangan. Mencari derajat ialah mencari keluhuran, kemuliaan, kebanggaan, keutamaan. Mencari kramat ialah mencari kekuasaan, kepercayaan, agar disegani, agar dipuja-puji.
Misalnya orang mencari semat/kekayaan agar ia berpenghasilan tetap. Rasa hatinya berkata: "Jika aku berpenghasilan tiap bulan sepuluh rupiah saja, aku tentu bahagia. Tidak seperti sekarang ini, kadang-kadang hanya tiga rupiah, bahkan kadang-kadang juga rugi." Bila usahanya berhasil, maka dalam kenyataannya ia tidak bahagia, namun hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Ini disebabkan karena keinginannya mulur sebagai berikut: "Ternyata penghasilan sepuluh rupiah ini tidak membuat aku bahagia. Jika berpenghasilan dua puluh ]ima rupiah, barulah aku akan benar-benar bahagia." Nanti bila sudah memperoleh dua puluh lima rupiah keinginan pun mulur lagi. "Kalau aku hanya menerima dua puluh lima rupiah saja, terang tidak mungkin aku bahagia. Bahkan hal itu akan menambah banyak hutangnya, karena dipercaya untuk membeli dengan bon, hingga ke sana ke sini aku membuat bon. Hanya jika aku berpenghasilan seratus rupiah, baru aku benar-benar bahagia." Nanti bila ia berhasil memperoleh seratus rupiah keinginannya pun mulur lagi dan ia ingin dua ratus, tiga ratus rupiah. Sampai berpenghasilan beribu-ribu rupiah, berjuta-juta rupiah, masih kurang terus. Demikianlah keinginan itu mulur sampai pada suatu ketika ia tidak mungkin dipenuhi dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap adanya.
Demikian pula dalam usaha mencari kenaikan derajat. Andaikata orang sudah menjadi asisten wedana, pasti keinginannya mulur dan ia ingin menjadi wedana. Kemudian setelah menjadi wedana, tentu keinginannya mulur lagi dan ia ingin menjadi bupati. Sekalipun sudah menjadi raja, ia kemudian ingin menjadi raja dari semua raja. Andaikata terlaksana menjadi raja dari semua raja, pasti hatinya berkata. "Ternyata menjadi raja dari semua raja itu tidak membuat aku bahagia, karena memerintah manusia itu ternyata bukan main banyak kesulitannya." "Mungkin kalau menjadi raja jin, barulah aku benar-benar bahagia. Bila sudah menjadi raja jin, pasti mulur lagi, ingin menjadi raja binatang, kutu, serangga, yang berupa anjing tanah, kacuak, tokek dan sebagainya. Demikian mulurnya keinginan sampai apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap.
Demikian pula dalam usaha memperoleh kramat atau kesaktian. Misalnya jika orang telah memiliki kesaktian dengan dapat menyembuhkan orang sakit lumpuh dengan meniupnya saja. Ia belum juga bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi, karena mulurnya keinginannya. Hatinya berkata: "Kalau hanya dapat menyembuhkan orang lumpuh dengan meniupnya saja, aku tidak berbahagia. Akan tetapi kalau dapat menghidupkan orang mati, aku tentu bahagia, karena siapapun akan percaya, segan, takut kepadaku dan akan memujaku." Ia akan berusaha ke sana sini untuk dapat menghidupkan orang mati. PadahaI sekolahnya untuk mempelajarinya tidak ada. Andaikata ia pun berhasil, setelah dapat menghidupkan dua orang saja, maka timbul kekhawatirannya. "Celakalah aku nanti. Jika setiap orang mati kuhidupkan kembali. Mayat-mayat dari mana-mana pasti akan dibawa kemari semua, dan aku disuruh menghidupkannya. Halaman rumahku pasti akan penuh dengan bangkai anjing, babi hutan dan lain-lain. Mungkin kalau aku dapat mengeluarkan sukma dari badan, aku baru benar-benar bahagia. Aku akan dapat melayang-layang mengelilingi dunia melihat negeri Belanda, negeri Cina, tanpa melakukan perjalanan, tanpa susah payah, lagi pula tidak kehilangan uang untuk bekalnya." Ia akan ke sana ke sini berusaha keras supaya bisa melepaskan sukmanya dari badannya, sedangkan sekolah untuk mempelajarinya belum ada. Andaikata ia berhasil melepaskan sukmanya dari raganya, ia pun tidak akan benar-benar bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi. Hatinya berkata "Susahlah aku bila sukma yang acapkali dilepas itu sampai tidak dapat kembali lagi ke tempat asalnya. Namun manakala aku bisa menghilang, pastilah aku betul-betul bahagia. Aku akan dapat menggaruk uang di pasar-pasar tanpa diketahui pemiliknya, dan tiap kata ada orang sedang menghitung uang, uang itu kuambil. Dengan tidak usah bekerja, aku dapat memiliki banyak uang, dan apa pun kuhendaki pastilah tercapai".
Bila ia kemudian berhasil dapat menghilang, tentu keinginannya mulur lagi, sehingga ia ingin bisa terbang, bisa menembus bumi dan seterusnya. Demikianlah mulurnya keinginannya sampai apa yang diinginkannya tidak dapat ia peroleh, maka susahlah ia. Jadi jelaslah bahwa lahirnya keinginan dalam usaha mencapai semat (kekayaan), derajat (kedudukan), kramat (kekuasaan), apabila sudah terlaksana pasti akan mulur. Maka senang itu tidak tetap sifatnya.
Mungkret (menyusut)
Demikian pula rasa susah pun tidak tetap. Karena susah itu disebabkan tidak tercapainya keinginan yang berwujud rasa tidak enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu dan sebagainya. Padahal keinginan itu bila tidak tercapai pasti mungkret (menyusut), dalam arti bahwa apa yang diinginkan itu berkurang baik dalarm jumlah maupun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka timbullah rasa senang. Jadi rasa susah itu tidak tetap.
Bila keinginan yang mungkret ini masih tidak terpenuhi, pasti ia akan mungkret lagi. Mungkretnya keinginan ini baru berhenti bila dapat terpenuhi keinginan itu. Tentunya apa yang diinginkan itu memang ada atau mudah diperoleh, sehingga keinginan itu terpenuhi dan timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap adanya.
Misalnya orang lapar ingin makan, tentu dipilihnya lauk-pauk yang serba lezat, seperti daging, telur dan sebagainya. Tetapi bila keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pasti mungkret, sehingga makan nasi dengan garam saja ia sudah senang. Bila nasi dengan garam pun tidak diperolehnya pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga makan ketela bakar saja ia sudah girang. Bila ketela bakar pun tidak ia peroleh, pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga dengan diteguknya air saja, cukup sejuklah lidahnya.
Contoh yang makin jelas lagi ialah bila seorang laki-laki ingin mempunyai seorang isteri, maka dipilihnya tentu yang cantik, masih perawan, kaya, keturunan priyayi, cerdas, berbakti, cermat, cinta suami dan seterusnya. Bila keinginan-keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pun tidak benar-benar celaka, melainkan susah sebentar, kemudian senang kembali. Oleh karena keinginannya mungkret, maka rasanya, "Walaupun syarat pilihanku tidak terpenuhi semua, asal saja cantik wajahnya bolehlah" Jika yang cantik pun tidak diperolehnya, tentu keinginannya mungkret lagi: "Walaupun tidak cantik asal saja masih perawan" Bila ini pun tidak berhasil, mungkret lagi keinginannya "Walaupun seorang janda asal saja belum punya anak." Bila pilihan ini masih juga gagal, pasti keinginannya mungkret lagi: "Walaupun banyak anaknya, asalkan saja ia sehat" Bila keinginan ini pun tidak terpenuhi, pasti mungkret lagi keinginannya: "Walaupun cacad, asalkan berwujud orang" Padahal mencari isteri dengan syarat asal berwujud orang saja, pastilah tidak sukar, maka ia lalu merasa senang lagi. Dari sebab itulah penderita-penderita cacad, baik laki-laki atau perempuan, banyak yang bersuami/isteri. Sebab satu sama lain berjumpa dalam keadaan sama mungkret keinginannya. Demikianlah menyusutnya keinginan sampai apa yang diinginkan itu tercapai, maka timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap.
Jadi jelaslah bahwa senang dan susah itu tidak tetap. Sebab senang itu disebabkan karena keinginan tercapai, dan keinginan yang tercapai ini mesti mulur sehingga yang diinginkan tidak mungkin tercapai, maka timbullah rasa susah. Kesusahan itu disebabkan karena keinginan tidak tercapai, padahal keinginan yang tidak tercapai ini mesti mungkret sehingga apa yang diinginkan itu mungkin tercapai, maka akan tercapailah keinginan itu dan rasa senang timbul, jadi keinginan itu bila mungkret akan mencapai apa yang diinginkan maka timbullah rasa senang, dan keinginan itu mulur. Mulur ini berlangsung sehingga tidak tercapai apa yang diinginkan maka timbul rasa susah dan keinginan itu mungkret. Mungkret, tercapai, senang, mulur lagi. Mulur, tidak tereapai, susah, mungkret lagi. Maka sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Hal inilah yang menyebabkan mengapa rasa hidup manusia itu sejak muda hingga tua, pasti bersifat sebentar senang sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.

Share this article :
 
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

Post a Comment

 
Support : Forum arrimaya | Kompasiana | forum sukumaya
Copyright © 2013. ArriMaya.com - All Rights Reserved
pemulung kata di ladang imajiner | voice over talent di radiotemen | dan spirit station
CMS memakai Blogger